Kesalihan Sosial
Februari 21, 2008

107_11.gif

Aroaitalladzie yukaddzibu biddien

Fadzaalikaladzie yadu’ul yatiem, wa laa yahuddlu ‘alaa tho’aamil miskien. Fa wailullil mushollien. Alladziena hum ‘an sholaatihim saahun. Allaziena hum yuroo’uuna wayamna’uunal maa’uun.

Saya tersentak.

Ada sejumlah pertanyaan.

Cap “mendustakan” agama bukanlah main-main. Sangat serius. Mendustakan seperti menganggap DIA tidak tahu, padahal DIA maha tahu.

Dan cap itu,

bukan melekat pada orang yang melakukan banyak maksiat, meninggalkan haji, puasa, sholat

bukan melekat pada orang yang jauh dari masjid, jarang berdoa dan berdzikir

Cap itu secara telak menghantam orang-orang a sosial; tak peduli pada sekitar, anak yatim, orang miskin, tak berkemampuan

Kenapa kemudian muncul pernyataan lanjutan “celakalah orang-orang yang melakukan sholat, yang sholat nya lalai, yang berbuat riyaa’ dan menolak, menghardik, mengusir orang yang meminta.

Sholat adalah wakil dari ibadah ritual, vertikal arahnya, pribadi sifatnya. Ia jadi sarana “chating” antara makhluk dan Sang Khaliq. Kenapa pelaku sholat bisa celaka? Kenapa bisa lalai? Apa maksudnya lalai?

Jika kita mengamati segala bentuk peribadatan, yang DIA perintahkan melalui hadits kekasih-NYA, maka akan nampak benar bahwa ibadat ritual “tidak pernah” lepas dari kerja/ amal sosial.

Ditandaskan dari ayat-ayat tadi, sholat yang dilalaikan hakikatnya, tidak dapat mencegah kita dari sifat a-sosial, dan itu bertentangan dengan misi utama islam, mensejahterakan; memberi rahmat sekalian alam. dan wajar, jika pelaku sholat tetap a-sosial, maka ia mendustakan misi utama islam.

Niat kita mensucikan harta berkaitan erat dengan niat kita membahagiakan orang lain, melalui zkat, sedekah, dan infak kita

Niat kita untuk menggapai tingkat tertinggi ketakwaan kita, berbarengan dengan upaya kita mengasah kepekaan atas penderitaan dan rasa lapar orang sekitar, melalui puasa kita

Kesaksian kita akan keesaan-NYA, berbarengan dengan keberanian, kemandirian, dan keteguhan sikap kita untuk berlaku adil menurut hukum-NYA, mellaui ucapan syahadat kita

Jadi, siap berani bilang

bahwa islam kita urusan akhirat kita?

bahwa religiusitas kita berseberangan dengan aktifitas sosial kita?

bahwa tawadlu kita berseberangan dengan motivasi kita bersikap progresif?

bahwa kita menjadi biarawan dan rahib yang hidup terasing dari komunitas?

Jangan berani-berani mengatakan itu,

karena berislam adalah mengembangkan sikap dan perilaku yang membawa manfaat sosial setinggi-tingginya.

karena sebaik-baik mukmin adalah yang paling bermanfaat bagi lingkungan.